top of page

Lebih baik di sini? - long copy PSA

  • Writer: Claudia Murrin
    Claudia Murrin
  • Dec 22, 2016
  • 3 min read

Hanya bilik bambu pagar rumah kita

tanpa hiasan, tanpa lukisan..

Beratap jerami, beralaskan tanah

namun semua itu milik kita…

Suara Ahmad Albar yang ditingkahi distorsi gitar elektrik sayup-sayup mengalun dari radio sekaligus pemutar kaset usang yang kupulung nyaris sepuluh tahun yang lalu, dan sudah menemaniku sejak itu. Aku duduk diatas kursi kayu di halaman rumahku, menegak kopi yang nyaris dingin, berharap segelas kafein tersebut mampu mengganti tidurku malam tadi yang kutukar dengan menguli. Jam yang tergantung di dinding menunjukkan pukul setengah enam, namun matahari pagi ini masih terlihat enggan keluar, entah masih bersembunyi di balik selimut awan, atau bahkan belum rela lepas dari sang malam. Anak-anakku seharusnya sudah bangun, tapi kubiarkan tidur lebih lama pagi ini. Dengan cuaca seperti ini, besar kemungkinan mereka pada akhirnya tidak masuk sekolah, karena guru-guru di SD mereka mempunyai aturan sendiri yang tidak tertulis; jika hujan, sekolah libur, karena kemungkinan besar sekolah akan banjir dan toh murid-murid akhirnya hanya akan main air.

Hanya alang-alang pagar rumah kita

tanpa anyelir tanpa melati

Hanya bunga bakung tumbuh di halaman,

namun semua itu milik kita…

Aku menatap gunungan sampah di dihalamanku dan menghirup nafas dalam-dalam. Orang-orang yang datang berkunjung selalu menggunakan masker berlipat-lipat, tetapi aku; kami semua yang tinggal disini, hanya menertawakan kelakuan mereka; datang dengan mobil besar dengan pengeruk di ujungnya, bersarung tangan karet, berseragam plastik aneh dan sepatu bot yang berwarna oranye cerah, mengomel mengenai bagaimana kami semua tidak mau disuruh pindah, lingkungan ini sumber penyakit, dan semua hal-hal lucu yang sering kami dengar namun kami abaikan. Kami hanya tertawa. Kami tidak perlu menggunakan apapun untuk bernapas, kami hidup dengan aroma ini hampir sepanjang hidup kami. Kami tidak perlu memakai karet untuk melindungi tangan kami; kulit kami setebal karung goni. Kami tidak perlu membungkus tubuh kami dengan plastik dan mengalasi kaki kami dengan sepatu nyentrik; ini rumah kami.

Memang semua itu milik kita…

Bunyi derit dipan membangunkan aku dari lamunanku. Si sulung rupanya sudah bangun. Ia kemudian duduk diatas dipan sempit yang berfungsi sebagai meja makan, meja belajar, sekaligus tempat tidur kami. Terkadang dikala malam sedang dingin, hal ini aku syukuri; kami tidur bertiga berdampingan melawan dingin malam, namun ketika musim pancaroba datang dan malam menjadi ganas, dan nyamuk-nyamuk tiba-tiba menjadi selapar drakula…

“Ayah, badan adek panas.”

Aku menoleh kepada si sulung, dan mendapati ia memegang kening adiknya yang sedang terlelap.

“Semalem aku sudah mau bilang, tapi ayah belum pulang, terus aku ketiduran.”

Langit bergemuruh, sepercik kilat terlihat menyambar di arah kiblat.

Aku bergegas mendekati dipan dengan perasaan yang tak asing. Panik, kacau..namun kali ini sekaligus pasrah. Seharusnya aku tahu kalau ini akan terulang lagi. Seharusnya…aku punya cukup akal untuk tidak membiarkan hal ini terjadi lagi.

Lebih baik disini…

Rumah kita sendiri..

Segala nikmat dan anugerah yang kuasa

Semuanya ada disini..

Aku berlari membawa si bungsu secepat yang aku bisa ke puskesmas terdekat. Badannya sepanas bara, bibirnya membiru, dan kausnya yang tinggal setipis kertas telah basah oleh keringat. Aku sudah tidak sanggup berpikir; tidak tidur semalaman, rasa lelah dan perasaan panik bukanlah kombinasi yang baik.

Aku membuka pintu puskesmas yang masih sepi, nyaris mendobrak, dan membuat resepsionis yang sedang terkantuk-kantuk dengan spontan berdiri dan hampir menjatuhkan vas bunga di mejanya. Ia berteriak memanggil dokter dan para karyawan, dan dengan sekejap ruangan tersebut diisi orang-orang dengan seragam putih-putih dan bersepatu runcing, mengambil si bungsu dari gendonganku, meletakkannya diatas kasur beroda, lalu berderap pergi. Resepsionis menelepon ambulans, dan hujan mulai mengguyur.

“Sudah saya bilang, lebih baik anda segera pindah! Istri anda baru saja meninggal dua bulan lalu karena malaria, sekarang anak anda terkena penyakit yang sama! Anda itu hidup diantara sampah, pak! Apa yang membuat anda berpikir bahwa hal itu merupakan sesuatu yang wajar? Mau sampai kapan anda tinggal disana? Hingga semua anggota keluarga anda habis dilibas penyakit karena lingkungan yang kumuh itu?!”

Racauan dokter terdengar berlomba dengan curah hujan diatas genting puskesmas. Aku tidak mendengarkan, dalam otakku hanya terngiang-ngiang suara Ahmad Albar yang sayup-sayup mengalun dari radio sekaligus pemutar kaset usang yang kupulung nyaris sepuluh tahun yang lalu. Kali ini, Ahmad Albar berulang-ulang menyanyikan sepotong lagunya, mengejek aku yang terduduk bersandar di dinding puskesmas.

Lebih baik disini, rumah kita sendiri...

 
 
 

Comments


Featured Posts
Recent Posts
Archive
Search By Tags
Follow Us
  • Facebook Basic Square
  • Twitter Basic Square
  • Google+ Basic Square
bottom of page